PURWAKARTA, garisjabar.com- Menyikapi pembangunan di Purwakarta saat ini yang dianggap tidak optimal oleh mantan Bupati sebelum Anne Ratna Mustika, namun sesungguhnya tidak terlepas dari kekacauan konsepsi dan proyeksi pembangunan di masa kepemimpinan Bupati sebelumnya. Jumat (6/10/2023).
Disamping itu, periodisasi kepemimpinan Anne Ratna Mustika terkendala adanya pandemi Covid 19 dan refokusing. Sehingga efektif mengelola pembangunan hanya satu tahun sebelum pandemi di masa itu.
Dengan kompleksitasnya akibat beban hutang bayar APBD periode kepemimpinan Dedi Mulyadi. Dan satu tahun setelah peristiwa pandemi itu sendiri, dengan gangguan tekanan politis yang dilakukan kroninya.
“Artinya kalau dia menyalahkan sepenuhnya haruslah berkaca terlebih dahulu, dan bukalah topeng yang yang menutupi kepalsuannya untuk sekedar pencitraan serta retorika saja,”kata Agus Yasin Pengamat Politik.
Menurut Agus Yasin, seorang pemimpin yang bijak tidak menyalahkan bawahan atau orang lain, tapi mengambil tanggung jawab atas tindakannya”. Tanpa terkecuali setelah lepas menjadi pemimpin secara formal, jiwa kepemimpinan itu senantiasa melekat,”ujarnya.
Bukan sebaliknya setelah tidak jadi pemimpin seolah merasa masih berkuasa, lebih pintar dengan pandangan dan celaan terhadap kekurangan pemimpin setelahnya.
Menurutnya, bila diukur kadar kepemimpinan dirinya saat memimpin ibarat air hauh dari tanaman, dimana dokrinasi dan patologi birokrasi menjadi penyakit yang sulit terobati.
Berkenaan dengan hal itu, kemudian merunut pada persoalan yang menjadi sebab akibat. Terkendalanya pembangunan lemahnya disiplin aparatur serta mengendapnya beban hutang APBD yang belum terselesaikan.
“Adalah bukti bahwa tata kelola pemerintahan dan kepemimpinan masa itu, cenderung ibarat sebuah panggung yang menyajikan plutokrasi dan hedonis kekuasaan semata,”ungkapnya.
Selain itu, bicara keberhasilan dalam aspek pembangunan tertentu, seperti pembangunan infrastruktur jalan memang bisa diakui. Apapun caranya, dan bagaimanapun akibatnya bagi yang turut di dalamnya.
Sementara dilihat dari sisi klasifikasinya, yang diprioritaskan bukan yang berorientasi pada peningkatan sarana untuk kepentingan publik. Tetapi lebih mengedepankan pembangunan sekunder, yang kontraproduktif terhadap hasil balik PAD dengan pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan yang cukup besar membebani APBD.
Pembangunan Tajug Gede dan Air Mancur Situ Buleud serta Gedung Linuhung menghabiskan puluhan miliar, begitupun pembuatan taman-taman dan pernak pernik aksesoris kota. Tentu akan berakibat pada pembebanan pemeliharaannya.
Apakah dengan modal besar pembangunan yang diproyeksikan itu, lantas sebanding dengan nilai balik untuk meningkatan PAD ?
Kalaupun memungkinkan, puluhan tahun dengan konsekuensi menyedot beban pemeliharaan yang cukup besar pula.
Kata Agus Yasin, jangan sekali kali berteori menghitung keuntungan dengan argumennya, apabila Air Mancur Taman Sri Baduga Situ Buleud digratiskan dan Diorama Hortikultura serta Musium Kelautan Tajug Gede dibuka. Besarnya beban biaya operasional tidak bisa diabaikan, begitupun pengamanan dan pemeliharaannya.
Menang cukup mudah berteori, untuk melemahkan dan mencela ketidak optimal pembangunan serta pencapaian target PAD yang dijalani oleh pemimpin daerah setelahnya,”ucapnya.
Namun harus disadari, kenyataan ini terjadi, karena adanya kekacauan tata kelola pemerintahan dan kebijakan anggaran.
Dimana kerap terjadi demi obsesi dan kepentingan politik pribadinya. Konsepsi pembangunan tidak lagi berkaca pada strategi dan proyeksinya, namun kebijakan anggaran tidak lagi berpijak pada kerangkanya. Urusan wajib, urusan prioritas dikalahkan oleh urusan spontanitas dan kepentingan politis.
Inkonsisten perencanaan dan penganggaran bukan hal yang aneh, begitupun penghamburan anggaran. Contoh kasus, hanya untuk menyewa Kuda dalam kepentingan Hari Jadi Purwakarta di masa kepemimpinannya, harus menghabiskan biaya Rp. 700 juta dalam beban APBD.
Disektor pembangunan sarana pelayanan publik, akibat kebijakannya sampai saat ini Disporparbud tidak memiliki kantor yang representatif. Adapun yang ditempati sekarang sebenarnya itu fasilitas KONI, dan sarana penunjang untuk kegiatan Olah Raga
Lalu berbicara pembangunan Diorama Hortikultura dan Musium Kelautan yang ingin dibuka, relevansi dan historisnya dengan Purwakarta apa ?
Maka tidaklah perlu mencari cari persoalan pemimpin daerah selanjutnya, sementara persoalan yang dibuat masa kepemimpinannya membebani orang lain.
Seperti persoalan tunda bayar DBHP tahun 2016-2017 dan 2018, yang tercantum dalam temuan LHP BPK 2018. Belum dibayarkannya 2 bulan Siltap pada pelaksanaan APBD TA 2018, sebagaimana diungkapkan salah seorang mantan Kades melalui rekaman video.
Serta hutang bayar terhadap GTT Satap, Keagamaan dan Operator Data. Dalam realisasi APBD TA 2018, yang terungkap pada Rapat Kerja Banggar DPRD dengan Disdik. Dimana yang mengungkapkannya Ketua Banggar langsung, yang merupakan juga sebagai Ketua DPRD Purwakarta.
“Kesimpulan, apabila jujur dan normatif dalam kepemimpinannya waktu itu. Tentu tidak perlu sibuk ngurusin persoalan daerah selanjutnya, terkecuali ada ketakutan persoalan masa lalu atas kepemimpinannya menjadi bumerang bagi dirinya,”kata Agus Yasin. (Rsd)