PURWAKARTA, garisjabar.com- Adanya rencana rotasi dan mutasi juga promosi open building jabatan yang berhembus saat ini. Menjadi topik pembicaraan yang menarik di dikalangan masyarakat termasuk di lingkup Pemda Purwakarta sendiri.
Yang lebih santer lagi, di balik hembusanya muncul dugaan bahwa rencana sirkulasi jabatan tersebut dijadikan suatu momentum oleh individu tertentu, yang diduga pula memiliki suatu pengaruh jabatan serta kelekatan emosional dengan figur pemegang kekuasaan sementara.
“Terlepas benar tidaknya dugaan dimaksud. Yang patut diwaspadai dan diamati adalah kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu munculnya kembali dikotomi akibat hegemoni pejabat daerah di Purwakarta,”kata Pengamat Kebijakan Publik Agus Yasin. Sabtu (27/1/2024).
Menurut Agus Yasin, pengingkaran etika pemerintahan daerah pendominasian terlindungi penempatan jabatan yang dilatari “alma mater entity”. Adalah penyakit yang harus diantisipasi melalui upaya pendekatan radikal.
Kata Agus, sah-sah saja selama tidak menabrak kepatutan dan kepatuhan serta standarisasinya, persoalan itu bisa dikecualikan. Akan tetapi jika mengukur dampak buruknya terhadap tata kelola pemerintahan yang baik, pembenarannya harus dikesampingkan.
Karena sangat dimungkinkan, jika pengingkaran itu difasihkan bisa terjadi gejolak tersembunyi, yang bukan mustahil pula menuai akibat hukum.
‘Sejatinya, Pj Bupati selaku pengendali dan sebagai pejabat pembina kepegawaian daerah bisa berorientasi dengan situasi. Serta mampu mendeteksi setiap gelagat yang dapat merusak identitas dan citra positif daerah,”ucapnya.
Problematika Purwakarta, bukan hanya menyangkut perlunya suatu pembenahan sistem dan tatanan pengelolaan pemerintahan daerah saja.
Persoalan lainnya pun tidak kalah penting untuk dibenahi. Termasuk kinerja pengelolaan keuangan daerah yang disinyalir kurang baik, serta besarnya hutang daerah yang membebani dan menjadi kewajiban mengikat.
Intinya, problematika dan dinamika yang terjadi di Purwakarta menjadi pertaruhan reputasi dan kredibilitas Pj Bupati, dalam mengemban tanggung jawabnya sebagai pengelola pemerintahan daerah sementara.
Kata Agus Yasin pertanyaannya, apakah Pj Bupati mampu menjadi “chain breaker” kelemahan pemerintahan masa lalu, atau sebaiknya. Terkesan sebagai “legacy maker” yang tidak nyaman untuk pemerintahan yang akan datang.
Dan terhadap persoalan yang krusial yang menyangkut isu kritis akan adanya “arrangement” penempatan jabatan. Yang diduga “berbau” penguatan dominasi komunitasnya.
Maka jelaslah, Purwakarta di masa transisi tersandera oleh “ethical harm”. Dalam menerapkan sistem dan tatanan pengelolaan daerah, sesuai dengan prinsip dasar serta asas- asas umum pemerintahan yang baik. (Rsd)