JAKARTA-Garisjabar.com
Ekonom Faisal Basri mendesak pemerintah untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Hal ini dilakukan agar persepsi investasi Indonesia tidak memburuk.
Menurut, Faisal, jika persepsi investasi di Indonesia kian negatif, maka keinginan pemerintah untuk memperbaiki pertumbuhan ekonomi yang mogok di kisaran 5 persen tidak akan pernah terwujud.
Namun Ia menjelaskan revisi UU KPK yang disahkan DPR hanya berisi poin-poin yang justru melemahkan ruang gerak KPK. Artinya, pemberantasan korupsi akan lebih sulit dibandingkan sebelumnya.
Sambung Faisal, akan dibaca investor bahwa ongkos investasi di Indonesia akan menjadi mahal. Sebab, celah rasuah di sisi birokrasi kian terbuka, sehingga investor sudah punya anggapan bahwa berinvestasi di Indonesia perlu merogoh kocek yang dalam.
“Jika kondisi sama seperti sekarang, maka legitimasi terhadap pemerintah ini akan terkikis. Makanya, salah satu agenda yang mendesak ialah bagaimana pemerintah menerbitkan perppu UU KPK,” ujar Faisal.Senin (30/9/2019).
Dalam hal ini, ia kembali berkaca kala dirinya menjabat sebagai Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Hulu Migas lima tahun silam. Saat tim itu dibentuk, ia banyak menerima keluhan dari berbagai perusahaan hulu migas internasional terkait praktik mafia migas.
Ia menyadari bahwa pelaku usaha justru ingin melaksanakan usaha dengan tata cara yang benar.
Kalau pun ada investor yang masuk ke Indonesia, ia yakin investasi itu tidak akan berkualitas dan hanya berorientasi untuk pasar domestik. Sebab, ongkos investasi yang mahal tak akan membuat output investasi tersebut bersaing di pasar internasional.
Walhasil, secara tidak langsung, kondisi tersebut akan memperparah neraca perdagangan Indonesia yang sudah defisit US$1,81 miliar sepanjang tahun ini.
“Pasti investasi yang masuk ke sini ya nanti investasi yang juga doyan menyogok dan berorientasi domestik saja. Ongkos yang mahal tidak akan membuat mereka bisa bersaing dengan luar negeri,” kata Faisal.
Namun jika tak ada perubahan, maka kondisi tersebut bisa melemahkan dua indikator ekonomi Indonesia. Pertama, adalah skor Incremental Capital-Output Ratio (ICOR). ICOR adalah parameter yang menggambarkan besaran tambahan modal yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output.
Semakin tinggi skor ICOR, artinya investasi semakin tak efisien. Saat ini, skor ICOR Indonesia berada di angka 6,3 atau lebih besar dibanding negara-negara Asia Tenggara lain yang di kisaran 3. Jika celah korupsi terbuka, maka biaya investasi meningkat, dan skor ICOR Indonesia akan lebih tinggi lagi.
“Padahal secara umumnya, negara-negara yang punya skor ICOR rendah ini bisa punya pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih baik,” ujar dia.
lanjut Faisal, adalah indeks kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB). Ia menilai ruang korupsi di birokrasi akan memperlambat realisasi investasi, sehingga skor EoDB Indonesia bisa terjun. Bertolak belakang dengan keinginan Presiden Joko Widodo yang berharap peringkat EoDB Indonesia bisa tembus 40 besar dunia.
Sejauh ini pemberantasan korupsi selalu berkorelasi dengan perbaikan skor EODB Indonesia. Skor Indeks Persepsi Korupsi pada 2015, misalnya, berada di angka 34. Namun, empat tahun kemudian, skornya ada di angka 38.
Senada dengan peringkat EoDB Indonesia yang naik dari peringkat 114 pada 2015 menjadi 72 pada 2018. “Jadi kalau ada yang bilang KPK ini menghambat investasi, hal itu justru keliru,” ucapnya.
Revisi UU KPK disahkan oleh DPR pada Selasa (16/9) lalu. Namun, pengesahan ini mengundang protes dari masyarakat hingga berujung demonstrasi karena dianggap melemahkan KPK. (Rht)