PURWAKARTA, garisjabar.com- Persoalan DBHP sepertinya hilang terhempas angin, sehingga APH seperti menggunakan kacamata kuda dalam menanggapi kasus DBHP yang melibatkan mantan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi.
Laporan masyarakat dan kritikan dalam kasus DBHP tahun 2016/ 2017 yang melibatkan Dedi Mulyadi ditanggapi dingin oleh aparat penegak hukum atas laporan tersebut.
“Secara logika, kewajiban harus dibayarkan Pemda ke Desa-Desa terkait persoalan DBHP dengan bukti transfernya. Tidak sesederhana yang dilontarkan Sekda ketika memberikan alasan saat issue ini mengemuka, pasca Bupati mengungkapkan ke publik dalam acara Gempungan di buruan lembur saat itu,”kata Pengamat Kebijakan Publik, Agus Yasin, Senin (29/5/2023).
Kata Agus Yasin, betul itu hutang Pemda, itu harus dirunut dulu pangkal persoalannya. Karena berdasarkan pada LHP BPK dan LRA Tahun 2018, dari kewajiban membayar DBHP ke Desa sebesar Rp. 47.253.370.478,00 hanya dianggarkan sebesar Rp. 11.977.699.055,00 pada. Namun anggaran DBHP itu nenjadi Rp. 0,- dalam APBD Perubahan TA 2018 dan atau dihilangkan.
Menurut Agus Yasin, jika hal tersebut alasannya sesuai kebijakan pimpinan, serta rasionalisasi belanja berdasarkan realisasi pendapatan dan saldo Kas Daerah. Maka alasan itu menjadi tidak rasional, apabila ditelaah secara akuntabilitas dan validitas.
Menurutnya, lantas belum lama ini Sekda mengatakan, bahwa hutang DBHP tahun 2016-2017 ke Desa tinggal Rp. 19 M dan sisa tahun 2019 sebesar Rp. 250 juta. Apakah pernyataan itu didukung dengan data yang otentik berupa bukti transfer pembayaran ke Desa-Desa ?
“Andai itu hanya untuk sekedar alasan dan tidak ada bukti jelas yang sudah terbayarkan, maka patut diduga Sekda telah melakukan kebohongan publik dan patut dipertanyakan kredibilitasnya,”ujar Agus Yasin.
Lalu ada pernyataan dari kepala BKAD, bahwa isi APBD TA 2023 sebenarnya bisa membayar hutang DBHP ke Desa-Desa. Sementara sebelumnya Sekda menyatakan APBD TA 2023 belum bisa untuk membayar hutang DBHP tersebut. Ini menambah kelucuan pendapat dengan adanya saling silang pernyataan itu.
“Kalau menyikapi pernyataan dari Kepala DPKAD secara riil memang bisa, bagaimana tidak dengan isi APBD TA 2023 sebesar Rp. 2,5 T sangat dimungkinkan. Tentunya ada hal-hal yang mendasar harus diungkap dulu sisi persoalannya, dan pembayaran hutang DBHP itu sendiri secara logika tidak serta merta bisa langsung dimasukan. Harus ada pertanggung jawaban terlebih dahulu secara publish, dan penyelesaiannya berdasarkan kepatutan selaras ketentuan yang menjadi aturan terhadap persoalan hutang Pemda.”kata Agus Yasin.
Dijelaskan Agus Yasin, DBHP itu bersifat “Current Budget” dimana pembagiannya berdasarkan “By Origin”, sedangkan prinsip penyalurannya berdasarkan “Based on Aktual Revenue”. Maksudnya adalah penyaluran DBHP berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan, sebagaimana ketentuan dalam UU RI No. 33 Tahun 2004.
“Intinya, hutang DBHP tahun 2016-2017 kemudian ditambah dengan tahun 2018 yang terakumulasi sebesar Rp. 71.700.460.780.00 sesuai LHP BPK tahun 2018. Adalah bukti dari ketidak kecermatan Bidang Perencanaan Anggaran saat itu, sebagai akibat dari faktor faktor tertentu, dan bukan mustahil patut diduga disebabkan oleh kebijakan pemilik kewenangan,”ungkapnya.
Bisa juga disebabkan adanya interaksi yang salah antara struktur dan faktor-faktor lingkungan birokrasi, yang sarat dengan kesewenangan penguasa di atasnya.
Agus menyampaikan, perlu diingat, proses perencanaan anggaran disusun dan ditentukan berdasarkan pedoman yang menjadi acuan. Sementara realisasi anggaran, mekanismenya tidak terlepas dari adanya bentuk administrasi terkontrol, “disposisi” dan “nota dinas” adalah sebagai pengejawantahan prinsip dari pengelolaan anggaran.
Persoalan DBHP semakin menarik lagi, ketika tiba-tiba Bupati mengungkapkan persoalan hutang DBHP ke Desa-Desa di masa pemerintahan sebelumnya. Kemudian direspon oleh pihak yang merasa tersentil dari ungkapan Bupati tersebut, yang seterusnya ada pertemuan yang melibatkan Wakil Bupati, Ketua DPRD (Ketua Banggar DPRD) dan Sekda (Ketua TAPD) di sebuah Cafe.
“Ada yang aneh, apabila tidak ada hal-hal yang patut diduga bakal menyeretnya. Kenapa seperti “panik” menghadapi persoalan ini ? Dan kenapa harus memanggil mereka ? Jelaskan saja ke publik langsung secara faktual, atau somasi saja,”ucapnya. (Rsd)