Garisjabar.com- Pengusaha meminta pemerintah tak meremehkan kondisi neraca perdagangan yang defisit, meskipun mereka memaklumi bahwa melemahnya kinerja ekspor dan impor disebabkan oleh kondisi ekonomi global.
Hal ini, diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menanggapi data neraca perdagangan yang mengalami defisit US$160 juta pada September 2019. Padahal, bulan sebelumnya surplus US$80 juta.
Namun, Hariyadi, menduga lesunya kinerja ekspor impor merupakan gambaran dari penurunan daya beli masyarakat. Hal itu yang patut dikhawatirkan karena konsumsi rumah tangga yang seharusnya menjadi mesin penggerak utama ekonomi Indonesia.
“Poinnya adalah kalau impor turun secara keseluruhan apalagi impor bahan bakunya, berarti memang ada perlambatan di pertumbuhan ekonomi dan yang kami khawatirkan adalah turunan di daya beli,” ujarnya. Selasa (15/10/2019).
Hariyadi menyampaikan, pelemahan daya beli masyarakat menunjukkan kualitas pertumbuhan ekonomi belum optimal. Itu berarti, lanjutnya, manfaat pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati kelas menengah atas, sedangkan kalangan menengah bawah masih dalam kondisi tertekan.
“Tertekan dalam arti kata lapangan kerja menyempit, lalu kondisi yang terkait dengan efisiensi perusahaan dan sebagainya,” kata dia.
Namun, guna memaksimalkan kualitas pertumbuhan ekonomi, dia menilai pemerintah perlu menggenjot lebih banyak lapangan kerja formal. Dengan demikian, produktivitas dan ekonomi masyarakat ikut terkerek.
Di sisi lain, ia tidak menampik jika kondisi perlambatan ekonomi dan lesunya perdagangan global juga memicu defisit neraca perdagangan.
Hal ini, dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani mengatakan pemerintah perlu mengambil langkah agar kondisi ekonomi tidak memburuk.
“Walaupun orang mengatakan Indonesia masih sehat saya rasa kita harus bersiap-siap juga. Jangan sampai kita masuk dalam resesi jadi harus mengantisipasi,” ujar Shinta.
Namun, Ia menilai menurunnya kinerja ekspor dan impor dipicu lesunya industri dalam negeri. Oleh sebab itu, guna mengurangi ketergantungan kepada impor maka pemerintah perlu menggenjot kinerja industri dalam negeri.
“Solusinya adalah kita mesti industrialisasi, bagaimana kita kembangkan industri hulu supaya tidak terlalu tergantung kepada impor juga,” kata dia.
Hal tersebut, Ia menyatakan perlu pengembangan pasar ekspor non-tradisional guna mendorong kinerja ekspor. Dengan demikian, ketika negara tujuan ekspor utama sedang goyah, maka ekspor Indonesia tak banyak terpengaruh lantaran memiliki basis pasar ekspor yang luas.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan mengalami defisit US$160 juta pada September 2019 dari sebelumnya surplus US$80 juta di Agustus 2019.
Namun, secara rinci, nilai ekspor turun 1,29 persen dari USD14,28 miliar di Agustus menjadi USD14,10 miliar pada September. Nilai ekspor turun lebih tajam secara tahunan sebesar 5,74 persen.
Sehingga, di sisi lain, impor naik tipis 0,63 persen dari US$14,17 di Agustus menjadi USD14,26 miliar di September. Namun, impor turun 2,41 persen secara tahunan. (Rht)