PURWAKARTA, garisjabar.com- Selama tiga bulan berjalan, bandar dan petambak ikan di perairan Waduk Jatiluhur Purwakarta mengalami kerugian akibat hamparan eceng gondok menutupi rute bongkar muat, bahkan beberapa tambak sempat tertutupi hamparan eceng gondok.
Petani Keramba Jaring Apung (KJA) di perairan Waduk Jatiluhur, mengeluhkan keberadaan gulma eceng gondok yang terus meluas.
“Ikan jadi kekurangan oksigen, nafsu makan ikan juga berkurang sehingga menghambat ke pertumbuhan,” kata seorang petani ikan, Rahmat Sujana (34).Ju’mat (8/10/2021).
Lanjut Ia mengatakan, dengan kondisi ikan seperti itu, masa panen yang seharusnya bisa dilakukan 4 bulan menjadi 6 bulan.
“Kematian ikan juga jadi mudah. Ikan nila yang biasanya paling kuat bertahan dibandingkan jenis ikan lainnya, sekarang malah yang paling rentan mati,” ujarnya.
Muhammad Sobari (56) Bandar ikan di wilayah Jatiluhur mengatakan, dalam dua pekan terkahir hamparan eceng gondok di waduk Jatiluhur termasuk berakibat fatal.
“Kalau hamparan eceng gondok ini sudah 3 bulan, tapi yang fatal 2 minggu terkahir karena benar-benar tak bisa melintas,” ujar Sobari ketika ditemui di Dermaga Serpis Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jumat (8/10/2021).
Menurutnya, maksud dari berakibat fatal tersebut, hamparan eceng gondok mengakibatkan kerugian pada sektor jual-beli ikan hasil panen tambak.
“Kalau ada eceng gondok memang terkendala, biasanya kita ngangkut ikan di fiber itu sudah ada waktunya, dari tambak ke darat misal waktunya 30 menit, kalau lebih dari waktu itu oksigennya habis ikan bisa mati,” ungkapnya.
Namun selama 3 kali angkatan ikan yang diborong Sobari, setiap kalinya ia selalu mengalami kerugian, “Awalnya tarikan pertama saya rugi 85 kilogram, ikannya mati kelamaan di jalan karena ada eceng gondok, tarikan kedua juga sama. Yang parah tarikan kemarin yang terkahir saya rugi hampir 500 kilogram,” kata dia.
Sobari menyampaikan harga ikan yang dia beli dari petani sebesar Rp 22.000 per kilogram, sedangkan harga yang dijual oleh Sobari ke pasaran senilai Rp 24.500 per kilogram, namun jika ikan tersebut mati di jalan, bangkai ikan tersebut hanya dihargai Rp 8 ribu per kilogram.
“Kemarin ikan saya mati karena kehabisan oksigen, itu yang paling parah 5 kuintal, saya hitung kerugian mencapai Rp 11 juta,” ujar Sobari.
Sementara itu, hampir setiap malam, para petambak, bandar ikan termasuk warga sekitar dermaga Serpis, membantu anggita Satpolairud untuk menyisir hamparan eceng gondok yang menutupi jalur perahu.
“Disini cuma pake tenaga manual, eceng gondok sebanyak ini gak akan tuntas dibersihkan,” katanya.
Sobari berharap, pemerintah daerah memberikan solusi untuk mengatasi amparan eceng gondok di Waduk Jatiluhur.
“Kalau bisa coba terjunkan eksavator, mungkin kalau pake alat berat akan cepat selesai, jangan seperti ini semacam dibiarkan,” ucapnya.
Menurut Sobari, pemerintah setempat sebelumnya memang mengetahui peristiwa tersebut, namun nampaknya eceng gondok tersebut tak juga dihiraukan.
“Katanya sih air Jatiluhur ini sudah kotor, nah, eceng gondok katanya berfungsi untuk membersihkan air. Saya juga paham seperti ada pembiaran agar kualitas air jadi bersih,”kata Sobari. (Rsd)