PURWAKARTA, garisjabar.com- Terkait kehadiran Sekda bersama Wakil Bupati Purwakarta dan Ketua DPRD di sebuah Cafe, atas panggilan mantan Bupati untuk klarifikasi ikhwal persoalan kisruh Dana Bagi Hasil (DBH). Secara kepatutan telah menjerumuskan kredibilitas Sekda sendiri.
“Apapun alasannya, termasuk pembelaannya terhadap persoalan tersebut tanpa sepengetahuan dan ijin Bupati. Tidak lebih sebahai bentuk pengingkaran dan penghinatan etika terhadap Sumpah Jabatan dan Pemimpin Daerah yang sah.”Kata Pengamat Kebijakan Publik Agus Yasin.
Menurut Agus, sepatutnya selaku Pejabat Tertinggi Birokrasi harus faham situasi, dan bisa menjadi tauladan bagi bawahannya. Terkecuali memang yang bersangkutan ikut “panik” dengan persoalan itu, sehingga tidak berfikir secara nalar akan konsekuensinya serta dampak yang akan ditimbulkan.
Namun dikatakan Agus Yasin, termasuk pula dengan kehadiran Ketua DPRD Purwakarta Ahmad Sanusi dalam pertemuan tersebut menjadi perhatian khusus, mengingat kapasitas dan relevansinya.
“Secara institusi, kalau tidak ada dugaan yang akan direncanakan bersama tentu tidaklah penting kehadirannya,”kata Agus. Minggu (04/12/2022).
Kata Agus, justru kalau merasa pro rakyat, Ketua DPRD harus mengambil sikap tegas tentang persoalan DBH pada waktu itu ( 2016, 2017, 2018). Sehingga, sisi pengawasannya terkait persoalan tersebut hingga belum adanya kepastian pembatasan.
“Bukan malah terkesan manut dan seperti mau melibatkan terciptanya persoalan lain yang di mungkinkan berakibat hukum,”ujar Agus Yasin.
Menurutnya, begitu pula kehadiran Wakil Bupati Aming, ini juga merupakan hal yang aneh. Jangan-jangan ada sesuatu terkait pribadinya, menyangkut persoalan yang sudah beredar dalam pemberitaan.
“Jika pertemuan itu terindikasi dapat menimbulkan dampak negatif, serta menuai kegaduhan yang akhirnya akan merambah pada ketidak nyamanan pemerintahan secara umum. Bupati selaku Pejabat Pembina Kepegawaian harus mengambil tindakan, jika dianggap fatal tidak perlu sungkan untuk di “Non Job” kan.”Ungkapnya.
Menurut Agus Yasin, Sepantasnya seorang Sekda mampu menjaga dan memelihara kapasitasnya, tidak memperlihatkan “kepatuhan” yang berlebihan terhadap orang yang sudah bukan pemilik kekuasaan yang sah.
“Kepatuhan itu, mungkin Sekda yang pada masa kepemimpinan Bupati sebelumnya menjadi “part of the chaos” terkait perencanaan dan realisasi (DBH). Sehingga tidak bisa mengelak, dan berupaya melakukan pembenaran di balik kesalahan yang sudah bukan rahasia lagi menyangkut “financial governance chaos” saat itu,”katanya.
Agus Yasin pun menyebutkan, Kalau benar adanya atas keterlibatan dalam itu, Sekda bisa terjerat secara hukum. Jika ditemukan penyimpangan yang fundamental dan terencana.”Lantas menyangkut pelanggaran norma dasar kode ebtik dan prilaku ASN perbuatan tersebut perlu dan harus dilaporkan ke (KASN),”ucapnya. (Rsd)