Garisjabar.com- Pengamat Kebijakan Publik Kabupaten Purwakarta Agus Yasin menyebutkan, debat Pilkada seharusnya menjadi cerminan dari kualitas kepemimpinan para kandidat, termasuk pola pikir strategi, pengelolaan emosi, perilaku yang mencerminkan integritas, serta kemampuan interpersonal mereka.
Menurut, Agus Yasin, perdebatan yang ideal tidak hanya berfokus pada janji-janji politik, tetapi juga pada bagaimana seorang kandidat mempengaruhi, dan memotivasi, serta mengarahkan masyarakat menuju perubahan yang lebih baik.
“Mencermati nuansa pada debat pertama, secara realitas kurang menarik bagi publik. Konkretnya, bisa dikatakan sekedar untuk menghibur simpatisannya saja,” kata Agus Yasin, saat dihubungi melalui seluler, pada Senin (18/11/2024).
Selain itu, kata Agus Yasin, debat itu sendiri menjadi kurang menarik, hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Seperti penyampaian visi dan misi yang monoton, dan juga penyampaian gagasan segar dari para kandidat, atau debat yang lebih banyak berisi keakuan daripada solusi konkret untuk masyarakat.
“Suguhan seperti itu tentu saja mengecewakan, mengingat perdebatan seharusnya menjadi ajang bagi kandidat untuk menunjukkan kapasitas, visi, dan rencana kerja mereka secara meyakinkan,” ujarnya.
Menurutnya, masyarakat Purwakarta tentu menginginkan perdebatan yang mengedukasi, menawarkan solusi atas isu-isu lokal, seperti pelayanan publik, infrastruktur, pengelolaan anggaran daerah, hingga pemberdayaan masyarakat.
“Jika perdebatan terlalu normatif atau minim substansi, masyarakat mungkin akan kehilangan kepercayaan terhadap proses politik itu sendiri,” kata Agus Yasin.
Sebaliknya apabila lebih kreatif dan substantif, debat Pilkada Purwakarta tidak hanya akan semakin menarik. Tetapi juga lebih relevan bagi masyarakat, sehingga mereka ingin melihat calon pemimpin dengan kualitas kepemimpinan yang sejati.
Debat kedua tetap tidak akan menarik
Dengan tema yang begitu berat dan luas dipastikan debat ini akan hambar, karena para kandidat akan menginterpretasikannya secara teori bukan berbasis data.
Begitu juga untuk mengkomparasikan sub temanya, ada kemungkinan satu sama lain akan terjadi kebuntuan solusi. Sebab, masing-masing kandidat akan berdalih dengan argumentasi dalilnya sendiri,” Bukan berdasarkan kisi-kisi apalagi bukti yang berbasis data,” ucap Agus Yasin.
Sementara dengan kata lain, pada gelaran debat pilkada kedua. Lagi-lagi publik akan disuguhi kembali psikologis dan paradoks untuk kepemimpinan para kandidat. Dengan dibumbui retorika argumentatif, yang membungkus kekurang mampuan secara substantif berkaitan dengan makna dari temannya. (Rsd)